A. RIWAYAT PENDIDIKAN K.H. AHMAD
MUHTADI
K.H. Ahmad
Muhtadi adalah anak ke-6 dari KH. Musthofa Kranji. Beliau dilahirkan pada tahun
1908 dan dibesarkan di desa Kranji Paciran Lamongan. Setelah berumur baligh
(dewasa), beliau dibawa oleh kakandanya yang bernama KH. Abdul Karim ke pondok
pesantren KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Setelah berhasil mempelajari
beberapa ilmu agama, beliau pindah ke pondok pesantren Sebalk Jombang untuk
menghafal Al-Qur’an kepada Al-Hafidh KH. Mahfudz. Dalam menghafal Al-Qur’an
dari awal hingga akhir (dari Juz 1 sampai juz 30), K.H. Ahmad Muhtadi hanya
memerlukan waktu kurang dari satu tahun. Mengingat masih mudanya usia K.H.
Ahmad Muhtadi, oleh kyainya beliau disuruh kembali lagi ke Tebuireng untuk
mengaji beberapa ilmu Fiqih dan Tafsir.
K.H. Ahmad
Muhtadi adalah sosok santri yang cerdas dan tekun dalam menimba ilmu. Berkat
dari kecerdasan dan ketekunannya itu akhirnya beliau diangkat menjadi guru,
terutama guru di bidang tulis menulis (khoth) karena tulisan beliau sangat
bagus. Di samping menjadi guru, beliau tetap menghafal Al-Qur’an dan masih juga
belajar menadalami beberapa ilmu.
Mengingat
kecerdasan otaknya beliau diperintah oleh Mbah KH. Hasyim Asy’ari untuk mengaji
ilmu Falak kepada KH. Ma’shum Kuwaran Jombang. Oleh gurunya, K.H. Ahmad Muhtadi
dinilai sebagai murid yang sangat tekun dan cerdas, karena itu beliau dipilih
sebagai murid teristimewa, sehingga semua ilmu Mbah KH. Ma’shum Al-Falaki
diberikan kepadanya. Selanjutnya K.H. Ahmad Muhtadi diserahi tugas untuk
mewakili beliau (Mbah KH. Ma’shum) dalam mengajar ilmu falak kepada
santri-santrinya.
K.H. Ahmad
Muhtadi sering disuruh oleh gurunya untuk mengerjakan praktek falak yang oleh
sang guru sendiri dianggap terdapat kesulitan baginya. Namun berkat keuletan
dan kelebihan kemampuan otaknya, K.H. Ahmad Muhtadi dapat menyelesaikan
tugasnya dengan benar dalam waktu yang relatif singkat dari waktu yang
diperkirakan oleh gurunya.
Setelah K.H.
Ahmad Muhtadi pulang dari pondok pesantren Tebuireng dan Seblak, beliau pergi
mondok lagi, yaitu mengaji di pondok pesantren Suwalan Panji Jombang. Setelah
beliau menamatkan mengajinya di pondok pesantren Suwalan, beliau pulang ke
kampung halamannya, yaitu Desa Kranji Paciran Lamongan dengan membawa berbagai
ilmu.
B. K.H. AHMAD MUHTADI MENIKAH
Setelah pulang
dari menimba ilmu di beberapa pondok pesantren ternama, K.H. Ahmad Muhtadi dinikahkan
dengan seorang putri KH. Umar Suto Sendangagung Paciran Lamongan yang bernama
Raden Robi’ah.
Pernikahan K.H.
Ahmad Muhtadi dengan Raden Robi’ah tidak/belum dikaruniai anak oleh Allah SWT
sampai akhir hayatnya (dalam usia 41 tahun), walaupun pernikahan beliau sudah
cukup lama, yaitu ± 16 tahun (1933-1949).
C. K.H. AHMAD MUHTADI MENGASUH
PONDOK PESANTREN DAN MENDIRIKAN MADRASAH
Setelah
melaksanakan pernikahan dengan Raden Robi’ah binti KH. Umar, K.H. Ahmad Muhtadi
berdomisili di Sendangagung, desa tempat tinggal isterinya. Di desa inilah
beliau menyebarkan agama Islam serta mengembangkan berbagai macam ilmu yang
dimilikinya, diantaranya ialah ilmu Al-Qur’an, ilmu Tafsir, ilmu Falak, ilmu
Feqih, dan lain-lain melalui Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ismailiyah yang
diasuhnya. Pondok Pesantren Salafiyah Al-Ismailiyah ini mula-mula di dirikan
dan diasuh oleh Mbah KH. Isma’il bin Maulana, kemudian diturunkan kepada Mabah
K.H. Musthofa bin K. Samurah (Sepupu Mbah K.H. Isma’il) dari Bungah. Setelah
Mbah K.H. Musthofa wafat diteruskan oleh Mbah K.H. Zuber (Sepuh) bin K.H.
Musthofa (Bungah) setelah itu diturunkan lagi kepada Mbah KH. Umar bin K.
Sholeh (Tsani) dari Bungah, kemudian diturunkan lagi dan diasuh oleh K.H. Ahmad
Muhtadi bin K.H. Musthofa (Kranji). Setelah K.H. Ahmad Muhtadi gugur ditembak
Belanda pada tahun 1949 maka pondok pesantren mengalami kefakuman selama ± 3
tahun (tahun 1949-1951). Kemudian tahun 1952 – 1955 diasuh oleh K.H. Hasan
Syarqowi (Suami Raden Masy’aroh binti K.H. Umar) dengan guru-guru dari Paciran.
Namun bangunan pondok sudah diuabh menjadi madrasah dengan ditambah satu
bangunan (rumah) membeli dari Bapak Ma’ruf dari Kampung Pasar (sekarang BPI
Raudlotut Thullab). Madrasah pada waktu itu bernama Madrasah Islamiyah kemudian
mulai tahun 1972 nama Madrasah Islamiyah diubah menjadi Madrasah Al-Muhtadi
sesuai dengan nama pendirinya. Selanjutnya mulai tahun 1956 hingga sekarang
(2011) ini pondok pesantren diasuh oleh Mbah K.H. M. Zubair Umar.
K.H. Ahmad
Muhtadi sering dimintai tolong oleh masyarakat Sendang untuk membacakan surat
kiriman dari keluarganya, juga membuatkan balasan, bahkan juga dimintai orang
yang akan punya hajat untuk menuliskan nama-nama calon undangan dan membuatkan
kepleknya (undangannya) sekaligus. Mengingat hal yang demikian ini, maka
menurut K.H. Ahmad Muhtadi mengembangkan ilmunya melalui pendidikan Pondok
Pesantren saja beliau rasa masih kurang, untuk itu pada tanggal 23 Pebruari 1936
K.H. Ahmad Muhtadi mendirikan madrasah. Maka sejak saat itulah di kampung Suto
Sendangagung mempunyai dua wadah pendidikan, yaitu Pondok Pesantren dan
Madrasah. Madrasah sebagai tempat bersekolah bagi anak-anak kampung yang tidak
mengikuti kegiatan pondok, dan pondok pesantren sebagai tempat para santri
untuk menghafal Al-Qur’an dan mengaji kitab-kitab lain. Setelah K.H. Ahmad
Muhtadi mendirikan Madrasah dan menjadi pengasuh pondok pesantren, maka KH.
Ma’shum Kuwaran Jombang memerintahkan santri-santrinya yang berasal dari daerah
Gresik, Sidayu dan sekitarnya untuk pindah belajar ilmu falak di K.H. Ahmad
Muhtadi Sendangagung Paciran Lamongan, karena menurut KH. Ma’shum, K.H. Ahmad
Muhtadi itu salah satu dari sekian banyak santrinya yang paling pandai dan
paling maju khususnya dalam bidang tahfidlul Qur’an dan ilmu falak. Sejak itu
maka berdatanganlah para santri dari luar Sendang, terutama pada bulan-bulan
Ramadlan banyak para Ustadz yang datang ke Sendang untuk belajar Ilmu Falak
kepada K.H. Ahmad Muhtadi, termasuk kakaknya sendiri yaitu KH. M. Sholeh
Musthofa yang sudah muqim di pondok pesantren Qomaruddin Bungah Gresik.
D. K.H. AHMAD MUHTADI MEMBELI
SEKOLAHAN BEKAS SR PACIRAN
Pada saat
Belanda datang lagi (agresi) pada tahun 1949 bangunan-bangunan milik pemerintah
Republik Indonesia semuanya dibakar oleh tentara kita karena dikhawatirkan
nantinya dijadikan markas Belanda. Pada waktu itu Sekolah Rakyat (SR) setingkat
SD Paciran juga akan dibakar, namun dicegah oleh K.H. Ahmad Muhtadi sebab
beliau ingin mendirikan bangunan madrasah mengingat beliau mempunyai banyak
murid tetapi belum mempunyai sekolahan (madrasah). Untuk itu SR Paciran yang
hendak dibakar itu dibeli oleh K.H. Ahmad Muhtadi. Oleh tentara kita SR itu
tidak boleh diobeli dengan uang tetapi harus ditukar dengan senjata, sebab
dengan senjata itu nanti akan dapat digunakan secara langsung untuk melawan
Belanda. Karena pada saat itu K.H. Ahmad Muhtadi mempunyai keluarga (Pak Lik
Isterinya) sekaligus teman berjuang yang bernama Zainuddin dari Desa Kawisanyar
Kebomas Gresik yang statusnya juga tentara, maka permintaan itu diiyakan
(disetujui). Untuk itu Zainuddin langsung berusaha mencari beberapa senjata ke
daerah Gresik dan setelah berhasil maka senjata itu diserahkan kepada
teman-teman tentara melalui seorang kurir yang bernama Mustajab bin Sento.
Sesudah itu SR dibongkar dan diusung ke Sendangagung. Tetapi sayang niat K.H.
Ahmad Muhtadi untuk mendirikan bangunan Madrasah dari bekas SR Paciran itu
belum kesampaian atau belum terlaksana, karena K.H. Ahmad Muhtadi sudah keburu
ditangkap oleh Belanda sehingga akhirnya beliau ditembak mati. Kayu, genting
dan lain-lain bekas SR Paciran yang ditumpuk disamping barat rumah Mbah K.H.
Umar (sekarang rumah Ustadz Drs. Mas’ud Baraja) itu akhirnya diambil oleh
Belanda yang menguasai Paciran beserta cokronya (orang jawa pengikut Belanda)
secara paksa dengan KH. Dimyati yang ditunjuk untuk memimpin masyarakat
Sendangagung yang mengembalikan material bekas SR itu ke Paciran, kalau tidak
maka Desa Sendangagung akan dibumi hanguskan oleh Belanda. Sesudah itu entah
karena sentimen atau salah paham, ada orang yang melaporkan kepada tentara
bahwa K.H. Dimyati sekarang menjadi pengikut Belanda. Dengan demikian K.H.
Dimyati diculik oleh tentara dan ditembak mati di hutan Solokuro.
Perjuangan K.H.
Ahmad Muhtadi yang begitu keras untuk membela kemerdekaan dan mencerdaskan
bangsa yang kandas itu tetap diteruskan oleh keluarga, teman, handai toulan dan
generasi penerus beliau, sehingga lambat laun dengan idzin dan inayah Allah SWT
tetap dapat terwujud seperti sekarang ini. Di mana dalam jangka waktu ± 33
tahun (1949 – 1982) Yayasan Al-Muhtadi sudah mempunyai empat jenjang pendidikan
formal, yaitu Taman Kanak-Kanak (TK) yang pada awal berdirinya bertempat di
langgar wirid (tanah wakaf K.H. Ahmad Muhtadi tahun 1967), Madrasah Ibtidaiyah
(MI) mula-mula bertempat di langgar Suto (tahun 1936), Madrasah Tsanawiyah
(MTs) awal berdiri tahun 1980 ditempatkan di bawah panggung tua bekas gutaan (kantor)
guru, dan Madrasah Aliyah (MA) bertempat di gedung MTs (tahun 1983). Di samping
itu cikal bakal pendidikan yang berupa pondok pesantren juga masih tetap
lestari. Seiring dengan kemajuan zaman dan kemajuan ekonomi masyarakat, bila
pada masa-masa pendahulunya bangunan pondok dan madrasah masih terbuat dari
bambu atau kayu, berlantai tanah yang berdebu, sekarang semuanya udah berupa
gedung yang permanen dan megah. Dan patut disyukuri lagi bahwa mulai tahun 2010
yang baru lalu semua aset yang berupa tanah milik K.H. Ahmad Muhtadi resmi
diwakafkan kepada Yayasan Al-Muhtadi guna kepentingan pendidikan kecuali lokasi
langgar wirid.
E. K.H. AHMAD MUHTADI RAJIN BEKERJA
K.H. Ahmad
Muhtadi adalah sosok kyai yang serba bisa karena di samping rajin dalam
mengajarkan bermacam-macam ilmu agama kepada para santrinya beliau juga rajin
dalam bekerja khususnya dalam bidang pertanian (mengolah tanah, bercocok tanam
dan sebagainya). Selain ahli dalam bidang pertanian, K.H. Ahmad Muhtadi juga
ahli di bidang kerajinan, diantaranya ialah membakar kapur (membuat gamping),
membuat areng dan memasak kulit, baik kulit kambing maupun kulit lembu sebagai
bahan baku membuat sabuk, sandal, tas, bedug dan lain-lain. Selanjutnya semua
hasil kerajinannya itu dipasarkan (dijual) ke Gresik.
F. PERJUANGAN K.H. AHMAD MUHTADI
Pada saat
Negara Indonesia dijajah oleh Belanda, K.H. Ahmad Muhtadi adalah termasuk salah
satu dari sekian banyak pejuang yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan
Negara Republik Indonesia. Beliau adalah salah satu pejuang yang sangat berani dalam
mengeluarkan anjuran untuk menentang penjajah. Tidak hanya itu, ketika terjadi
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tahun 1948 yang
dipimpin oleh Muso, para pengikut atau anggota PKI di Sendang banyak yang
menyimpan senjata api. Di saat itu K.H. Ahmad Muhtadi adalah satu-satunya orang
yang berani mengusut dan menggeledah rumah-rumah anggota PKI yang dicurigai
menyimpan senjata api dan ternyata usaha beliau membuahkan hasil karena beliau
banyak menemukan senjata api, terutama geranat tangan. Selanjutnya senjata api
dan granat tersebut disita dan dikumpulkan di rumah beliau dan setelah itu
diserahkan kepada pihak yang berwajib (polisi) di Paciran. K.H. Ahmad Muhtadi
juga seorang yang paling berani membela kebenaran. Suatu contoh :
1.
Di saat Jepang berkuasa, segala
sesuatu diatur melalui sistem antrian, tetapi pihak penguasa Desa Sendangagung
sendiri banyak yang melakukan pelanggaran dan penyelewengan. Dalam hal ini
walaupun aparat desa yang melakukan penyelewengan termasuk orang-orang yang
mempunyai hubungan baik dengan beliau, tetapi karena pelanggaran dan penyelewengan
itu berkelanjutan sampai pada masa kemerdekaan maka beliau berani memimpin para
pemuda Sendang untuk menuntut keadilan. Pada saat itu pihak penguasa
mencurahkan segala kemampuan serta usaha untuk mempertahankan kekuasaannya
melalui orang-orang atasannya, namun K.H. Ahmad Muhtadi tidak kalah taktik.
Karena didorong oleh kewajiban agama dan negara serta kepentingan bangsa
khususnya rakyat Sendangagung, maka dengan dibantun oleh beberapa teman beliau,
yaitu H. Anwar, Ahmad bin Sento atau yang terkenal dengan panggilan Ahmad Sento
dan kawan-kawan, juga dibantu pula oleh adinda (KH. Amin Musthofa Tunggul)
akhirnya berhasil menumbangkan pelaku kejahatan di Desa Sendangagung, bahkan
ada pula oknum yang terpaksa harus diusir keluar dari Sendangagung oleh K.H.
Ahmad Muhtadi bersama masyarakat.
2.
K.H. Ahmad Muhtadi adalah seorang kyai
dan pejuang kemerdekaan. Beliau selalu memberi petunjuk dan arahan kepada
pejuang lainnya. Diantara sekian banyak tentara dan pejuang sukarela yang
pernah mengikuti perjuangan beliau adalah Zainuddin dari Gresik. Pada saat itu
status Zainuddin adalah tentara (sekarang TNI) dan pada tahun 1984, Zainuddin
menjadi Kepala Desa Kawisanyar Kebomas Gresik.
Karena
semangat dan gigihnya dalam menentang penjajah, maka setelah belanda berhasil
masuk di daerah Paciran, K.H. Ahmad Muhtadi selalu diincar oleh Belanda.
Menurut
sebuah cerita dari dua kakak beliau (KH. Abdul Karim Musthofa dan KH. M. Sholeh
Musthofa) ketika Belanda mendarat di Glondong Tuban, K.H. Ahmad Muhtadi dan KH.
Amin mengadakan pertemuan di Kranji dengan dua saudara beliau yaitu KH. M.
Sholeh dan KH. Abdul Karim. Pertemuan segi empat ini dilakukan dengan posisi K.H.
Ahmad Muhtadi menghadap ke arah barat berhadapan dengan KH. Amin, KH. Abdul
Karim menghadap ke arah utara berhadapn dengan KH. M. Sholeh. Dalam pertemuan
tersebut kedua kakak beliau (KH. Abdul Karim dan KH. M. Sholeh) menghendaki dan
menyarankan agar kedua adiknya (K.H. Ahmad Muhtadi dan KH. Amin) mengungsi
meninggalkan daerah Paciran, mengingat kedua kakak beliau yaitu KH. Abdul Karim
dan KH. M. Sholeh statusnya di Kranji ini juga pengungsi. Di mana KH. Abdul
Karim dari Bojonegoro dan KH. M. Sholeh dari Gresik, karena Bojonegoro dan
Gresik sudah dikuasai oleh Belanda. Akan tetapi K.H. Ahmad Muhtadi dan KH. Amin
berpendirian lain, yaitu mengingat Belanda sudah merata di mana-mana maka
mengungsi itu tidak ada artinya. Untuk itu kita lebih baik menetap di daerah
saja sambil mengatur strategi para pejuang yang ada untuk bergerilya. Dan
apabila terpaksa kita tertangkap oleh Belanda maka itu sudah ketentuan Allah
SWT, sebab menurut beliau berdua meninggalkan daerah ini berarti meninggalkan
teman-teman seperjuangan. Karena beliau berdua berserah diri kepada Allah SWT dan
berpegangan teguh pada firman-Nya Ýî×ìÛa áÈãë éÜÛa bäjy ÞbÓë.
Akhirnya K.H. Ahmad Muhtadi tetap di Sendang namun suatu saat beliau pergi
bersama Zainuddin untuk meninggalkan rumah di saat Belanda memasuki desa
Sendang dan beliau pulang kembali ke rumah bersama zainuddin untuk mengajar
Al-Qur’an ketika Belanda sudah keluar dari Sendang untuk kembali ke markasnya
di Paciran.
G. AKHIR HAYAT K.H. AHMAD MUHTADI
Tepat pada
hari Ahad pahing tanggal 7 Ramadlan 1368 H/3 Juli 1949 M setelah Shubuh beliau
pergi ke sawah milik mantan kepala Desa yang digarapnya di dekat gerdu
Sendangagung (ditepi barat jalan yang ada di sebelah barat rumah beliau) untuk
mengatur benih padi yang mana siangnya nanti sekitar jam 07.00 akan ditanam.
Mengingat beliau adalah seorang yang rajin dan giat bekerja, dengan tanpa
memperhitungkan kedatangan Belanda, beliau berada ditengah sawah sedang sibuk
mengatur benih padi yang akan ditanam tersebut tiba-tiba di pagi buta itu
dengan tanpa diduga dan tanpa diketahui dari mana datangnya, tahu-tahu beliau
sudah dikepung oleh Belanda dan akhirnya beliau ditangkap lalu dibawa ke markas
Belanda di Paciran (sekarang ditempati bangunan Balai Desa Paciran). Dan
setelah tiba di markas Belanda tempat penahanan beliau ternyata di dalam
tahanan itu sudah ada KH. Amin dari Tunggul (Adik beliau) yang sudah ditangkap
terlebih dahulu.
Pada hari
Selasa Wage tanggal 9 Ramadlan 1368 H/5 Juli 1949 M sekitar jam 04.00 pagi
rumah beliau (sekarang di depan langgar wirid) dibakar habis oleh Belanda. Menurut
keterangan dari Ibu Hj. Walijah (Ibunya H. Sun’an Karwalip) Paciran, K.H. Ahmad
Muhtadi ditawari menjadi kepala Desa bawahan Belanda untuk membawahi
Sendangagung, Sendangduwur, Payaman, Solokuro dan sekitarnya. Apabila mau maka
beliau akan dilepaskan. Tetapi karena semangat juang dan semangat
nasionalismenya sangat kuat dan semua kitab-kitabnya juga sudah habis dibakar
bersama rumahnya oleh Belanda maka beliau menolak tawaran itu. Kemudian pada
hari Sabtu pon, tanggal 13 Ramadlan 1368 H/9 Juli 1949 M bersama dengan adinda
(KH. Amin) beliau dibawa oleh Belanda ke arah timur, setelah sampai di suatu
tempat di tepi jalan utara desa Dagan (sekarang MI Ma’arif NU Dagan), K.H.
Ahmad Muhtadi bersama KH. Amin dari Tunggul (adiknya), Modin desa Klayar, Sehat
dari Sendangagung kampung Gerdu Sarang, Reso dari Sendangagung Kampung Setuli
dan dua orang lagi yang sampai sekarang masih menjadi misteri, dibantai (ditembak
mati) oleh Belanda. Setelah beliau semua gugur, dengan disaksikan oleh pemuda
kecil bernama Qomari, putra dari modin Dagan, akhirnya jenazah beliau semua itu
dikuburkan oleh masyarakat desa Dagan dengan ditempo satu jam. Untuk itu
masyarakat desa Dagan menggali dua lubang yang berjajar dengan jarak ± 3 meter,
lubang barat untuk mengubur KH. Amin, K.H. Ahmad Muhtadi dan modin Klayar.
Lubang timur untuk mengubur Reso, Sehat dan dua orang teman lagi yang samapi
terbitnya buku ini nara sumber dan penulis masih belum tahu siapa beliau berdua
itu.
Mengingat
beliau semua itu gugur di dalam membela kemerdekaan negara Republik Indonesia,
maka makam beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Makam Pahlawan.
Di masa
pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 1980-an semua kerangkan pahlawan
kemerdekaan RI wilayah Lamongan digali dan dikumpulkan di Taman Makam Pahlawan
Kabupaten Lamongan, namun pihak keluarga menolak, dengan alasan :
1.
Karena K.H. Ahmad Muhtadi adalah
seorang hafidh (hafal Al-Qur’an) dikhawatirkan jasadnya masih utuh.
2.
Agar supaya pihak keluarga, sanak
famili, para santri (murid-muridnya), masyarakat Sendangagung dan sekitarnya
bila ingin menziarahi makam beliau tidak terlalu jauh.
Dengan dua alasan yang sangat kuat yang diajukan
oleh pihak keluarga kepada pemerintah itu maka pihak pemerintah menerima dan
mengabulkan permintaan keluarga. Akhirnya tidak jadi dibongkar untuk dipindah
ke Lamongan tetapi tetap saja di pemakaman semula, yaitu desa Dagan Kecamatan
Paciran (Sekarang wilayah Kecamatan Solokuro)
( Penulis Buku Biografi KH. AHMAD MUHATDI MUSTHOFA adalah Bapak Kaswan, S. Pd. I. )
0 komentar:
Posting Komentar